Pak Toyo Guru Hidup
Oleh: Mughits Rifai
Oleh: Mughits Rifai
Nama lengkapnya Soetojo. Terdengar sederhana sesederhana penampilannya waktu itu, hari pertamaku masuk sekolah di SDN 1 Mertapada Kulon. Bagiku yang belum pernah bersekolah, hari itu bisa jadi hari penentuan apakah aku akan menyukai sekolah ataukah aku malah akan antipati dengan sekolah.
Aku dan kawan-kawan sudah tak sabar menunggu di depan kelas. Sebagian besar mereka ditemani orang tuanya. Aku tidak. Seorang pria berperawakan agak gempal dan berambut ikal tiba-tiba muncul dengan skuter biru langit. Di bagian sayap skuter itu nampak stiker tulisan �Bayu & Nuning� menempel rekat. Belakangan aku tahu itu adalah nama kedua anaknya yang hanya terpaut beberapa tahun dari usiaku.
�Nama Bapak Pak Toyo,� katanya mengenalkan diri. Kami yang tadi berbaris rapi dan masuk satu per satu ke dalam kelas lalu saling berbisik sambil tertawa kecil. Namanya lucu. Tak menunggu waktu lama, kami dipanggil satu per satu. Temanku yang paling pertama disebut. Setelah disebut, temanku diminta ke depan dan mengambil sebuah balok kecil bergambar dan bertuliskan angka satu lalu menaruhnya di meja guru. Aku dan teman-teman jadi ingin sekali cepat disebut dan dipanggil ke depan. Senangnya hatiku saat pada urutan kesembilan akhirnya namaku disebut. Maju ke depan, aku mengambil balok kecil bertuliskan angka sembilan. Balok itu bergambar tiga butir telur. Aku mencoba bergerak cepat dan menaruhnya di meja guru. Saat hendak kembali ke bangku, aku sempat melihat Pak Toyo tersenyum kepadaku.
Seperti yang bisa dibayangkan, aku benar-benar menikmati masa sekolahku. Sekali waktu Pak Toyo masuk ke kelas sambil menenteng gitar. Bagiku yang hanya melihat gitar lewat layar kaca televisi, itu saja sudah pengalaman baru. Terlebih lagi ketika Pak Toyo mulai memetik gitarnya dan menyanyikan lagu �Layang-layang�. Kami seperti terhipnotis riuh rendah bernyanyi bersama. Pendeknya, bersama Pak Toyo sekolah adalah sekolah yang pernah terbayangkan oleh anak-anak, bukan sekolah dalam versi lain.
Waktu berjalan cepat. Pak Toyo berpindah tugas. Waktu itu aku belum juga menamatkan sekolahku. Tanpa kehadirannya di tengah-tengah kami, aku dan teman-teman sering mengenang cerita bersama Pak Toyo di tahun-tahun awal sekolah. Ada cerita belajar berhitung dengan lidi, menggambar segitiga, menulis halus, sampai cerita long march ke tempat wisata di sekitar lingkungan kami yang jaraknya berkilo-kilometer dari sekolah. Sesampainya di rumah pun, cerita ini tak akan habis bahkan bertambah. Karena dari keenam kakakku, semuanya pernah menjadi muridnya. Sepertinya Pak Toyo sudah menjadi cerita rakyat tersendiri di lingkungan kami.
Tak berhenti di situ, Pak Toyo menjadi semakin populer ketika muridnya semasa sekolah dulu suatu ketika bertemu dengannya di jalan lalu tanpa berpikir lama beliau langsung bisa mengenali bahkan menyebut namanya dengan benar. Tak ada kehormatan yang lebih menyenangkan selain diingat oleh guru. Kejadian ini banyak dan berulang lalu ceritanya menyebar tanpa bantuan media sosial.
Buah dari itu semua, penerimaan seorang murid terhadap gurunya. Menjadi tidak mengherankan ketika Pak Toyo ditimpa musibah kecelekaan lalu para alumni menggerakkan teman-temannya untuk menengok dan membawa sedikit bingkisan. Bagiku, Pak Toyo telah secara taklangsung menginspirasiku untuk menjadi seorang guru. Bagi para muridnya, Pak Toyo bukan sekadar guru. Pak Toyo adalah guru hidup. �Hidup� dalam arti apapun yang pernah bisa terpikirkan oleh seseorang.
Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku"
Lihat informasi lomba di http://lagaligo.org/lomba-menulis
Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku"
Lihat informasi lomba di http://lagaligo.org/lomba-menulis
0 comments:
Post a Comment